Buku Kumpulan
Puisi
(Senin Kelabu)
karya
Iswan Sual
Bermain Bola
Ajaklah aku bermain
bola teman
Ku ingin menendang
Walau hanya sekali menembus gawang
Ayolah teman beri aku kesempatan
Sungguh aku
irih melihat kalian
Berlari-lari
dalam girang
Berpacu larut
dalam juang
Ayolah teman
beri aku peluang
Dari kecil main bola tlah jadi idaman
Ingin sekali menggiring
Menirukan si Bambang
Ayolah kawan ajaklah aku kapan-kapan
Suatu saat
nanti kau keheranan
Saksikanku di tengah
lapangan
Janjiku slalu
ku pegang
Ayolah kawan
ini demi masa depan
Di lapangan belakang
Main bola telah dilarang
Katanya akan berdiri gedongan
Tempat inap penggelap uang
Ilmu Pengetahuan
Selamat pagi dunia
Tiada hal yang lebih indah
Dari membenam diri dalam lautan ilmu
Menyentuh karang-karang runyam
Memandangi
bilangan ikan-ikan
Menyalin dalam
pencahan-pecahan
Membaginya
menjadi bermacam-macam
Memperoleh
hasil yang seimbang
Dalam dunia itu pandang melapang
Rasa menjadi dalam
Menembus mega
Menggoda angkasa
Terjelajah
sungai panjang
Menyusup
mikroorganisme
Terpaham
hubungan-hubungan
Mengurai
simbiosis mutualisme
Dunia ini sungguh jelita
Kian dalam ku selam tahulah tentang realita
Ia membuat aku menolak Tuhan
Juga membuat kagum pada pencipta
Pesannya:
“Aku berteriak-teriak di
lorong-lorong di muka umum pula.Barangsiapa mencariku mereka tak mudah
tertipu.”
Nilai-Nilai Telah Wafat
Nilai-nilai telah pergi
Mengembara mencari-cari
Jiwa-jiwa sejati
Tinggalkan raga yang telah mati
Kita tak
ubahnya mumi
Namun ingin
hidup lagi
Dulu, begitu mesra nilai-nilai membelai
Dimanjanya kita di atas ayunan damai
Bercanda kita beramai-ramai
Nilai berdandan gagah nampak seperti mempelai
Kita seumpama
malaikat
Terbang dengan
sayap-sayap
Nilai-nilai hilang tak berjejak
Barangkali dia telah wafat
Terperangkat oleh bangsat
Mungkin juga ia tlah terangkat
Nilai-nilai, maukah kau kembali?
Kita mulai dari awal
Ku ingin kau jadi perisai
Saat aku hampir lunglai
Kepada Leluhur Kami
Leluhur yang telah tiada
Masihkah engkau bertanya
Apa kami tetap pertahankan adat
Merancang esok nan bahagia?
Leluhur yang
di sana
Tahukah engkau
kalau turunanmu
Kini menjual
tubuh sampai ke negeri jauh
Korbankan
nurani demi mobil baru?
Leluhur yang telah tiada
Ku rindu masa-masa dulu
Hilang nyawa tak jadi soal
Asal kita tak dipermainkan malu
Leluhur yang
di sana
Manis dikenang
waktu kita disebut alifuru
Tapi kita
terapkan Mapalus
Tewaspun tak
apa yang penting kita bersatu
Leluhur kami Toar dan Lumimuut
Sekiranya boleh jenguk kami sekali-kali
Pun hanya dalam mimpi
Kami pasti berani berdiri
Leluhur kami
Toar dan Lumimuut
Ingatkan kami
supaya tidak korupsi
Jauhkan kami
dari selisih
Ikatlah kami
dengan tali suci
Biarlah kami seperti Manguni
Orang Minahasa sejati
Kita Buat Anak-Anak Kita Bangga
Wahai orang muda
Kita ini pemegang tongkat estafet
Pewaris kebudayaan penerus kebanggaan
Di tangan kita, itu semua tercatat
Kita cipta sejarah
Kita buat anak-anak kita bangga
Wahai orang muda
Kita ini lascar pembela
Pelindung yang lemah penjaga martabat
Di tangan kita, itu semua terpahat
Kita harumkan bangsa
Kita buat anak-anak kita bangga
Wahai pemuda
Pantang kita menyerah pantang kita khianat
Berkobarlah semangat kita rangkul jiwa-jiwa
Di tangan kita, itu semua tersurat
Kita lawan penjajah
Kita buat anak-anak kita bangga
Wahai pemuda
Pantang kita lengah pantang kita kalah
Dobraklah dinding kebodohan
Masukilah dunia pengetahuan
Di tangan kita, itu semua termaktub
Kita bangun dunia
Kita buat anak-anak kita bangga
Di kamar
ini
Di kamar ini aku bermimpi
Tentang hari depan nan penuh misteri
Hari depan tersembunyi
Tersingkap oleh imajinasi
Walau tak tertata
Dari sini aku mulai berharap
Sendirian tertawa-tawa
Menengok dunia nyata
Di kamar ini ku gores tinta
Mencipta karya nan indah
Bukan karna ingin kaya
Hanya demi idealism semata
Walau di mana-mana debu
Dari sini ku lepas semua pilu
Memetik masa lalu
Memanennya saat matang penuh
Di kamar ini ku lepas penat
Menghempas kabut pekat
Menekuni kitab berbab-bab
Agar dengan-Nya aku dekat
Kamar ini adalah alasan
Tempatku membangun harapan
Merancang angan
Tuk menggapai bintang-bintang
Kekasih
Hatiku
Sendirian aku di sini
Merenung dan mengenang
Kebersamaan yang pernah tercipta
Terucap dari bibir “Oh sungguh indah”
Rindu padamu seumpama
Rindu ombak akan pantai
Ingin bertemu
Saling mencumbu
Kekasih hatiku
Hadirlah dalam mimpiku
Biar semua insan cemburu
Jelajah laut biru
Engkau laksana embun
Tiap waktu memberi sejuk
Engkau laksana api
Memberi hangat dalam dingin
Kekasih hatiku
Dalam dekapmu aku tentram
Dalam pelukmu aku nyaman
Tak ingin aku semua ini berlalu
Jadilah kekasihku sepanjang waktu
Menerangi gelap hari-hariku
Jadilah nafasku dalam paru-paru
Hingga aku terus hidup
Aku kan menjelma matari
Dikalau kau benih baru
Menjelma jadi air
Menyiramimu
Supaya kau tak pernah mati
Aku kan berubah madu
Ketika kau lahir s’bagai kupu-kupu
Kekasih hatiku
Cintamu janganlah berlalu
Sinonsayang
Saat jendela kamar terbuka
Pagi-pagi kepadamu kukirim
Kekaguman
Dalam hati kataku
“Keberadaanmu adalah bukti adanya Dia. Tak mungkin
keteraturan dan kesemrawutan ini adalah kebetulan.”
Menunggu
Waktu takkan terasa berlalu
Bila takdirku adalah menunggumu
Menunggumu hingga kau mau
Terpisah jauh
taklah mengapa
Asal di sana
kau tetap setia
Setia pada
cinta
Demi hari
depan kita
Bagiku,
singkat dan panjangnya waktu
Jikalau cinta s’mua itu tak ada pengaruh
2012
2012, tahun kiamat
Itulah tutur orang tak berkhimat
Bikin kita tersesat
Berdiam diri. Berhenti berupaya
2012, tahun
rahmat
Seperti itulah
kita berharap
Agar selamat
Berjingkrak-jingkrak
gembira dalam bahagia
2012, masih rahasia
Rancanglah cita-cita untuk nusa bangsa
Isi hari-hari dengan rupa-rupa karya
Semoga hari tua terhindar sengsara
2012, tahun
naga menurut almanak Cina
Cintailah alam
jauhkan bencana
Tanamlah pohon
berjuta-juta
Di hari depan
kita bernafas lega
Ibu
Ibu,
Belum lama aku terlelap
Engkau telah terjaga
Menolak datangnya surya
Cukupkah engkau tidur?
Ibu,
Semua yang kau masak
Dilahap kami khatam hilang jejak
Perut jadi buncit badan bertenaga
Cukupkah engkau makan?
Ibu,
Aku masih bujangan
Masih numpang
Pakaian engkau yang cucikan
Tidak beratkah kau terbeban?
Ibu,
Harga sembako kian membumbung
Tariff dasar listrik laksana gunung
Anak perempuanmu masih
sekolah
Tapi telah bunting
Tidak inginkah kau merintih?
Dengan
Membaca
Dengan membaca
Aku bisa berkelana
Mengunjungi pantai Kuta
Menyentuh lekuk-lekuk eksotis Borobudur
Memanjat patung Liberti di Amerika
Dengan membaca
Aku mencicipi spageti
Meneguk anggur terbaik Eropa
Membeli pakaian kelas atas di Paris
Melihat para sineas beraksi di Hollywood
Dengan membaca
Aku bisa membuang abu di sungai Gangga
Mendaki hingga puncak
Himalaya
Berenang puas di Antartika
Bertemu Leon Trotsky di Rusia
Dengan membaca
Aku pura-pura tersesat dalam hutan Amazon
Bersenandung di ujung Zion
Bergabung dalam tim Indiana Jones
Mencari benda magis
Dan menemu harta karun
Dengan membaca
Aku mengecap singkat panas api neraka
Bermanja pada pangkuan Tuhan di surga
Kesendirian
Tak ada lawan bicara
Waktu berjalan terus
Muncul rasa bosan
Hanya berteman kebisuan
Mulut berkarat terasa pahit
Telinga berdesing dalam senyap
Mata membelalak
Melihat langit-langit
Tak tahu apa dibuat
Mencoba menyelidik
Buku ber-rak-rak
Tak satupun menarik minat
Aha! Baiknya ku tulis sajak
Sajak mengusik hati nan penat
Sajak mengobati kerinduan
Sajak mengusir kesendirian
Tunggu Aku Sayang
Layar telah terkembang sayang
Tak tahu kapanku pulang
Sapu tanganku tetaplah kau simpan
Biarlah itu jadi kenangan
Iringlah aku denga harapan
Hentarlah dengan senyuman
Agar aku sampai tujuan
Agar terkejar semua impian dan angan
Sabarlah sayang
Tunggu aku pulang
Hatimu jangan kau lunturkan
Ingatlah juangku di perantauan
Pandanglah bulan saat malam
Bicaralah pada bintang-bintang
Kukirim mereka padamu jadi teman
supaya kau riang walau sendirian
Pujian
perawan
Aku tersanjung hari ini kawan
Katanya puisiku membuah kesan
Menyentuhnya ke dalam
Serasa terbang aku hingga awan
Tak terkata isi hati ini kawan
Katanya puisiku buat dia tertawan
Duhai kawan! Ia itu elok rupawan
Insan mana tak tenggelam
Marilah saksikan kawan
Ikutlah aku bertemu si perawan
Biarlah kau lihat si jelita tak ada
tandingan
Biar kau lihat ku beri dia cincin
tunangan
Ayolah kawan
Kelak ke cucu-cucu kau ceritakan
Tentang juang
Pemuda yang tak lekang
Untung Ada Dia
Melihat mereka,
Nafasku tak menentu
Dalam hati berseru-seru
Berharap beroleh petunjuk
Aku jatuh lemas tertunduk
Kalau hari ini begini,
Bagaimana nanti?
Serasa ku tak kuat lagi
Mereka tentu tertawa bila aku pergi
Untung ada dia
Dia buatku lupa smua lara
Walau tak tak berlangsung lama
Dia seumpama oase di tengah gurun
Memberi kelegaan saat hujan tak pernah turun
Untung ada dia
Walau tersiksa dalam neraka
Dikirimnya aku bunga
Demi melihatku tersenyum dan tertawa
Sajak Untuk Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
(untuk alm. Jetje Rawung)
Tadi malam aku terhenyak dengar kabar
Tentang kelam yang datang
Lonceng berdentang
melingkupi desa
“Ibu guru kita telah berpulang ke alam baka.”
Padahal
kemarin engkau masih lincah
Menari-nari di
depan siswa
Menuangkan
makna-makna indah
tentang cita untuk bangsa
kini kau t’lah tiada, pahlawan
tanpa tanda jasa
Ibu guru, kenapa begitu lekas?
Kecewakah engkau karena kami tak menjadi
Seperti yang kau harap?
Sedihkah engkau karena didikkanmu
Tak jadi nyata dalam tiap langkah?
Sungguh, di
kala engkau mengajariku baca
Agar kelak aku
bisa melalangbuana
Jauh-jauh
menembus cakrawala
Sungguh, ketika engkau bercerita
Tentang Amerika, Eropa, negeri-negeri nun jauh di sana
Engkau berkata,
“Kejar impianmu, nak.
Kejar impianmu sampai ujung bumi.”
Dan engkau benar
Engkaulah guruku yang tak pernah berdusta
Bahkan demi kami kau mau menderita
Ibu guru,
lihat! Lihat! Langit pun mendung
Tak rela kau
pergi menghilang di awan-awan
Langit pun
ingin diajar bagaimana membaca
Menulis,
bersikap jujur,
menjadi panutan dalam tindak dan
tutur
Puluhan tahun keringatmu mengalir
Tapi tak satu pun kami sadar
Tak terkira peluh-peluh terkuras habis
Tak satu pun kami insaf
Ibu guru,
melihatmu terbujur kaku
Seakan harapan
kami ikut pupus
Berat rasanya
kami ditinggal
Berat rasanya
menerima kenyataan
Kaulah yang mengajarku menghitung
Menghitung bintang gemintang di angkasa
Kini kutahu kenapa
Kenapa aku mesti menghitung benda langit
Yang antah berantah berapa jumlahya
Kau ingin kami
menjadi bijaksana
Laksana Ganesa
tak surut meski telah rentah
Kau ingin kami
bahagia
Sebahagia
orang yang sejatinya bahagia
Kini kau telah tiada
Yang tinggal hanya pesona merona
Yang membekas hanya semangatmu yang tak patah
Tak lekang oleh waktu. Tak bisa punah
Malu kami
mengangkat muka
Kami yang muda
mengaku t’lah tua
Kami yang
masih bau kencur
Merasa sudah
usur berumur
Ibu guru, jasadmu akan terkubur
Tetapi semangat juangmu dalam sanubari
Takkan pernah luntur
Meski waktu terus gugur
Dalam hati
terukir dengan tinta emas
“Di kampung
kami, pernah hidup seorang wanita
yang tegas,
Yang selalu
bekerja keras.”
Ibu guru, jasamu tak sanggup kami balas
Hanya harap kami kirimkan ke atas
Selamat jalan ibu
Ingatlah kami bila olehNya kau telah dipangku
Senin Kelabu
(untuk alm. Jetje Rawung)
Senyum dan tawa terlukis indah
Pada wajah wanita yang tak lagi muda
Saban hari bercita menata bangsa
Mengirim harap menembus mega
Siapakah dia?
Masihkah ada
orang seperti itu?
Bukan sedikit peluh yang tercurah
Tenaga yang terkuras
Otak berkali-kali diperas
Hingga reyot melemas
Siapakah dia?
Masih adakah
orang begitu?
“Nak, belajarlah tak kenal waktu,
Terbanglah ke tempat yang kau tuju
Raih bintang gemintang
Sehingga tidak enteng kau dipandang.”
Kata-kata
siapakah itu?
Masih adakah
orang yang bicara begitu?
Lihat, siapa yang telah
Terbujur kaku disana?
Dalam diam dia bicara
Ingatkan kita tentang cita tuk nusa
Lihat! Dia
telah berhenti berdendang
Tidak lagi
menari atau menulis satu iota pun pada papan
Padahal semua
itu masih kami rindukan
Semua itu
telah hilang
ditelan menjelang Senin malam
Lihat! Lihat! Langit itu mendung
Perlambang dia juga kehilangan
Kehilangan bintang gemintang gemerlapan
Namun oleh kita sebelah mata dipandang
Ibu guru,
kepada yang kuasa
Telah
kukirimkan pesan
“Jemputlah
sang bintang tak berpantang,
Belailah dia
di atas pangkuan.”
Ibu guru, selamat jalan
Kepergianmu telah terbungkus kasih Tuhan
Semangat juangmu kan selalu kami kenang
Sebab bekal-bekalmu telah dikandung badan
Selamat jalan
ibu guru
Inilah kami
hendak mengantarmu
Pergilah kau
dengan iringan merdu
Damailah
selalu di tempat yang kau tuju